Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Minahasa Utara

DKPP Dinilai Ambil Keputusan Tanpa Bukti Konkrit

×

DKPP Dinilai Ambil Keputusan Tanpa Bukti Konkrit

Sebarkan artikel ini

manadoterkini.com, AIRMADIDI-Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) berupa pemberhentian tetap Komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Minahasa Utara (Minut) Rahman Ismail, menuai banyak tanda tanya. Tokoh Pemuda Sulut Syarif ‘Aif’ Darea menilai, putusan terhadap Rahman Ismail tidak dilandaskan dengan bukti-bukti konkrit, melainkan hanya berdasar pengakuan dan foto yang belum dibuktikan kebenarannya di aparat penegak hukum, semisal kepolisian.

“Keputusan DKPP adalah keputusan yang unik. Inikan sebenarnya tuduhan pengadu terhadap teradu. Dua garis besar, pertama tuduhan melakukan perselingkuhan, kedua tuduhan melakukan pengancaman. DKPP dalam hal ini setelah saya baca seluruh bunyi putusan tidak menyimpulkan satu pembuktian bahwa teradu betul-betul melakukan perzinahan, perselingkuhan dan pengancaman. Tapi kalau pun DKPP bersikeras membuktikan itu, maka itu bukan ranah DKPP. Harusnya laporan itu dibawa ke ruang hukum yang lain misalnya kepolisian. Dari sana baru diteruskan ke DKPP bahwa pelaku ini melakukan tindakan pidana,” ujar Darea, Jumat (18/12/2020).

Mantan aktivis Pelajar Islam Indonesia (PII) ini menilai, putusan DKPP yang sumir bisa menjadi ancaman bagi penyelenggara pemilu lainnya di Indonesia.

“Bayangkan jika ada yang jadi penyelenggara lalu ada orang lain yang tidak suka. Bisa saja orang yang tidak suka lalu membuat laporan dengan foto pernah berdua. Lalu bayar orang untuk bersaksi. Lalu sekonyong-konyong karena informasi seperti itu, DKPP harus memecat atau memberhentikan secara tetap terhadap penyelenggara,” sorot Darea.

Lanjut dia, DKPP harus melihat secara utuh laporan sebuah kasus apakah benar atau tidak. Jikalau akan dibuktikan maka DKPP seharusnya menyodorkan hal ini ke kepolisian yang memiliki instrumen pembuktian yang lebih kuat.
Lanjut Darea, putusan DKPP terhadap Komisioner Bawaslu Minut Rahman Ismail tidak masuk akal, terlebih pada poin bacaan ‘tindakan teradu terbukti menimbulkan kegaduhan di lingkungan tempat tinggal pengadu, selain itu tindakan teradu juga menciptakan suasana tidak nyaman di tempat kerja saksi’.

“Keputusan yang saya lihat alasan pemberhentian tetap karena dianggap membuat kegaduhan. Saya lihat ini sumir, kalau kegaduhan harusnya ini menjadi delik yang lain. Kalau kegaduhan karena tabrakan mobil, mana bukti bahwa perkara itu pernah terjadi, misalnya laporan kepolisian? Jika kegaduhan itu akibat pertengkaran istri teradu dengan saksi, harus dibuktikan pernah terjadi kegaduhan itu, kapan, dimana siapa siapa yang terlibat disitu. Harus ada bukti otentik saat itu misalnya laporan kepolisian. Bicara soal gaduh, masyarakat juga bisa melapor karena pleno Pilkada di tingkat desa, kecamatan dan kabupaten Kota juga gaduh. Apakah semua penyelenggara itu bisa dilaporkan dan dipecat?,” ujarnya.

Darea yang banyak pengalaman saat mengadukan kinerja penyelenggara pemilu ke DKPP, mengaku cukup kaget dengan perkembangan DKPP saat ini. Ia menilai baru kali ini DKPP memutuskan sesuatu tidak berlandaskan bukti-bukti yang konkrit.

“Seorang penyelenggara harusnya dijatuhi hukuman karena kerja-kerja dia sebagai penyelenggara itu terganggu. Itu pun harus ada bukti. Misalnya soal kehadiran, kecakapan pekerjaan atau kode etik yang dia langgar akhirnya mengganggu hasil pemilihan. Ruang-ruang itu yang harusnya jadi pembahasan DKPP. Baru kali ini saya lihat, DKPP ini mudah sekali mengeluarkan keputusan mengorbankan nama baik penyelenggara itu sendiri,” jelas Darea, yang pernah memenangkan sidang DKPP dengan putusan pemberhentian tetap terhadap tiga penyelenggara pemilu di Kota Manado tahun 2014.

(Pow)