Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

Adrey Laikun ST, Sebuah Catatan Ringan dari Sebuah Percakapan

×

Adrey Laikun ST, Sebuah Catatan Ringan dari Sebuah Percakapan

Sebarkan artikel ini

Oleh: Iverdixon Tunungki

LaikunManusia adalah makhluk politik. Demikian andaikata saya membincangkan Adrey Laikun, seorang sarjana teknik yang kini menjadi representasi rakyat di DPRD Kota Manado. Usia saya dengan dia bertaut jauh. Ia lebih mudah dan segar. Tapi saya harus memanggil dia “Kakak”, sebagaimana tradisi komunal Nasdem tempat Adrey bernaung.

Perlu digaris bawahi, Nasdem adalah sebuah partai politik dengan semangat restorasi yang menempatkan munusia di ruang terhomat kesederajatan.

Di ruang etik partai itu, tak ada tempat bagi paternalisme sempit, perbedaan kelas dan persoalan gender. Semua sederajat dalam sapaan “Kakak” yang wajib diucap dengan santun dan lembut hingga konsonan akhir “K” tak terdengar pekak.

Lebih dari itu, Adrey memiliki kecakapan retorik dan gestik sebagaimana umunya perangai politisi yang paripurna, lalu di sisi lain ia punya basic kecerdasan akademik. Demikian hari itu, Selasa, 4 Juni 2022. Sudah menjelang sore, saat saya dijemput di rumah dengan mobil oleh staf DPRD Manado bersama dua orang jurnalis pos dewan kota.

Singkatnya, tak berapa lama, saat langit telah berwarna “poka-poka”, saya pun bertemu sang legislator yang kini menjabat Wakil Ketua Dewan Kota di ruang kerjanya di Gedung DPRD Kota Manado yang terletak di Sario.

Kendati politik modern telah terdandani bahasa-bahasa yang canggih seiring perkembangan berbagai mazhab dan ilmu filsafat politik yang dipelopori para pemikir modern seperti dari era Thomas Hobbes, Machiavelli, John Locke, Jean- Jacques Rousseau, John Rawls, Jurgen Habermas, tujuan dasar politik tak pernah bergeser yaitu memperjuangkan kehidupan manusia. Itu esensi utama percakapan ringan saya dengan sang legislator Adrey Laikun.

Saya dan Adrey sama-sama tinggal di wilayah Utara Kota Manado. Sebuah kawasan yang jika mundur 45 tahun ke belakang, akan segera tersuguh kenangan pemandangan jalan aspal “halua” yang permukaannya tak begitu rata membuat mobil berbola tiga seperti bemo atau becak meluncur terhuyung-huyung, bendi apalagi.

Pada dini hari akan terdengar bunyi gluduk saat roda sapi melintas membawa aneka jualan dari para petani desa Buha, Bengkol dan Pandu menuju pasar Tuminting dan pasar Jengki.

Di pesisir-pesisirnya selalu melabuh perahu-perahu milik penduduk kawasan pulau di antaranya dari Manado Tua, Bunaken dan Siladen, bahkan armada dari kawasan terutara Sangihe Talaud.

Di masa lampau itu, bangunan rumah orang kaya atau pejabat tinggi pemerintahan dan militer serta pertokoan milik pedagang Cina di tepi jalan masih menampilkan citra arsitektur dari era penjajahan Belanda yang menonjolkan pilar dan sudut cekung. Selebihnya, rumah-rumah penduduk pribumi dibangun dari ramuan kayu dan bambu anyam sebagai dinding dan beratap daun rumbia atau bobo.

Pada malam hari, di perkampung pesisir dari kawasan Sindulang hingga Tumumpa dan Bailang, rumah-rumah diterangi lampu gas Petromax yang dinyalakan sejak pukul 18.30 dan umumnya dipadamkan pada pukul 21.00. Sinar yang tersisa setelah itu, tinggal nyala lampu-lampu minyak tanah Padamara yang biasa dibuat dari botol atau kaleng susu cap Nona.

Kota Manado waktu itu tak semodern yang nampak di tahun 2022. Ruas jalan utama Manado Utara yang dulu tempat Bemo melintas, kini terbenam 3 sampai 5 meter di bawah permukaan jalan saat ini.

Selain menjadi kawasan yang memiliki beberapa titik langganan banjir –terutama di area Tuminting–, yang menarik dikenang ketika itu, bentuk tiang listrik masih besi berongga yang agak pipih dihiasi lubang-lubang lonjong yang sering menjadi tempat panjat anak-anak

Singkatnya, tak berapa lama, saat langit telah berwarna “poka-poka”, saya pun bertemu sang legislator yang kini menjabat Wakil Ketua Dewan Kota di ruang kerjanya di Gedung DPRD Kota Manado yang terletak di Sario.

Kendati politik modern telah terdandani bahasa-bahasa yang canggih seiring perkembangan berbagai mazhab dan ilmu filsafat politik yang dipelopori para pemikir modern seperti dari era Thomas Hobbes, Machiavelli, John Locke, Jean- Jacques Rousseau, John Rawls, Jurgen Habermas, tujuan dasar politik tak pernah bergeser yaitu memperjuangkan kehidupan manusia. Itu esensi utama percakapan ringan saya dengan sang legislator Adrey Laikun.

Saya dan Adrey sama-sama tinggal di wilayah Utara Kota Manado. Sebuah kawasan yang jika mundur 45 tahun ke belakang, akan segera tersuguh kenangan pemandangan jalan aspal “halua” yang permukaannya tak begitu rata membuat mobil berbola tiga seperti bemo atau becak meluncur terhuyung-huyung, bendi apalagi.

Pada dini hari akan terdengar bunyi gluduk saat roda sapi melintas membawa aneka jualan dari para petani desa Buha, Bengkol dan Pandu menuju pasar Tuminting dan pasar Jengki.

Di pesisir-pesisirnya selalu melabuh perahu-perahu milik penduduk kawasan pulau di antaranya dari Manado Tua, Bunaken dan Siladen, bahkan armada dari kawasan terutara Sangihe Talaud.

Di masa lampau itu, bangunan rumah orang kaya atau pejabat tinggi pemerintahan dan militer serta pertokoan milik pedagang Cina di tepi jalan masih menampilkan citra arsitektur dari era penjajahan Belanda yang menonjolkan pilar dan sudut cekung. Selebihnya, rumah-rumah penduduk pribumi dibangun dari ramuan kayu dan bambu anyam sebagai dinding dan beratap daun rumbia atau bobo.

Pada malam hari, di perkampung pesisir dari kawasan Sindulang hingga Tumumpa dan Bailang, rumah-rumah diterangi lampu gas Petromax yang dinyalakan sejak pukul 18.30 dan umumnya dipadamkan pada pukul 21.00. Sinar yang tersisa setelah itu, tinggal nyala lampu-lampu minyak tanah Padamara yang biasa dibuat dari botol atau kaleng susu cap Nona.

Kota Manado waktu itu tak semodern yang nampak di tahun 2022. Ruas jalan utama Manado Utara yang dulu tempat Bemo melintas, kini terbenam 3 sampai 5 meter di bawah permukaan jalan saat ini.

Selain menjadi kawasan yang memiliki beberapa titik langganan banjir –terutama di area Tuminting–, yang menarik dikenang ketika itu, bentuk tiang listrik masih besi berongga yang agak pipih dihiasi lubang-lubang lonjong yang sering menjadi tempat panjat anak-anak.

Seperti pemandangan kota dalam film-film koboy barat hitam putih yang diputar di arena bioskop layar tancap yang kerap mendatangi perkampungan pesisir ini, tiang-tiang listrik itu nampak berderet di pinggiran jalan menyangga kabel-kabel tanpa isolator.

Lampu penerangan jalan sangat minim, kecuali di pertigaan atau perempatan jalan yang agak ramai. Lampu-lampu itu pun sering tak bertahan lama, karena selalu dilempari anak-anak muda saat mabuk atau ada perkelahian antar lorong. Dan listrik baru dinikmati warga kelas atas, orang-orang kaya dan para pejabat daerah.

Di tahun-tahun yang lama itu, sahabat saya, Didi Koleangan, seorang pemerhati seni yang mukim di Manado Selatan, punya kelakar bernada satire saat mengolok kawasan pemukiman kami yaitu, “tempat jin buang anak!”

Di kawasan yang distigma sebagai daerah “Sablah Aer” yang bermakna kumuh dan miskin, yang disemaraki cerita unik keterbelakangan itulah sejatinya Daerah Pemilihan (Dapil) Adrey Laikun saat pertama ia melangkah ke panggung politik lewat partai Nasdem.

Kawasan Dapil ini kini terbagi menjadi 3 kecamatan yaitu Tuminting, Bunaken Darat, Bunaken Kepulauan. Dan beruntung, dalam satu dasawarsa, ketika Walikota Manado dijabat Vicky Lumentut, seorang kader Partai Nasdem, Manado Utara telah berkembang menjadi tepian kota modern yang dilengkapi berbagai fasilitas publik dan aksesibilitas yang mendukung pertumbuhan ekonomi masyarakat.

Oleh karena itu pula bisa jadi, jin-jin tak lagi buang anak di kawasan ini, tapi lebih memilih beranak pinak di hati manusia yang menolak takdir dari apa yang didefinikan Aristoteles, manusia sebagai Zoon Politicon. Manusia adalah makhluk sosial, atau dalam bahasa yang lebih satir dan nakal yaitu manusia adalah binatang yang berpolitik.

Sebagaimana penekanan filsuf Aristoteles, Adrey Laikun memandang manusia sebagai makhluk politik yang terkait dengan penyelenggaraan kekuasaan demi mencapai kemaslahatan publik.

Mengapa Adrey berpendapat demikian? Mengapa manusia tak bisa lepas dari politik? Karena sebagaimana ketakdir manusia, sejak lahir ia telah menjadi makhluk politik. Seorang ibu menyusui anak dapat disebut sebagai aktivitas politik. Bahkan di rana cinta, saat seorang lelaki jatuh cinta terhadap seorang perempuan dan menjadikannya istri lalu melahirkan anak dan memeliharanya dengan baik itu dikategorikan sebagai tindakan politik dalam konteks regenerasi.

 

Itu sebabnya, Bertolt Brecht, seorang pemikir kebudayaan dan penulis drama realis revolusioner kelahiran Augsburg, Jerman, 1898 mengatakan selain dipandang sebagai hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara, politik dalam pengertian dasarnya merupakan suatu fenomena yang sangat berhubungan dengan kehidupan manusia yang merupakan makhluk sosial.

Tak ada yang riskan dengan latar sarjana teknik yang dikayai teori-teori eksak dan pehitungan bilangan konstan, apabila Adrey Laikun memilih berkarier di jalan politik yang non eksak. Bapak pendiri bangsa Soekarno, juga demikian. Dan masih banyak politisi kelas dunia yang justru datang bukan dari latar study ilmu politik.

Karena pada dasarnya kehidupan manusia adalah politik. Bahkan pada tingkatan yang lebih tinggi, setiap warga negara membutuhkan dan wajib memiliki kecerdasan politik dan ikut serta berpastisipasi dalam melahirkan keputusan politik. Sebab, di sebuah daerah bahkan negara, segala sesuatu bergantung pada keputusan politik.

Kita tak mungkin berharap harga pangan untuk rakyat yang terjangkau bila kita berada di luar pengambilan keputusan politik. Di ruang-ruang politiklah, lapangan kerja, gaji buruh, kebebasan berserikat, hak-hak sipil dan hak-hak politik serta semua yang menyangkut hajat hidup rakyat diputuskan.

Pada pertemuan yang tak begitu lama, yang bisa dikata hanya lebih sedikit dari sebuah sejenak, Adrey Laikun mengesankan saya bahwa keterpanggilannya di jalan politik dibangun dari sebuah kesadaran yang utuh sebagai manusia politik. Manusia yang menyadari dirinya adalah bagian dari jalan berkat bagi masyarakat.

Dan saya adalah salah satu dari 44.411 polites di Dapil 4 Manado (Tuminting, Bunaken Darat, Bunaken Kepulauan) dalam Pemilu Legislatif 2019 yang telah ikut merepresentasikannya sebagai salah satu Wakil Rakyat di DPRD Kota Manado.

Terkait strategisnya fungsi dan tugas pokok DPRD, sebagaimana bagian dari rakyat bawah, ada harapan terbetik di benak saya kepada para yang mulia pejabat negara untuk selalu memikirkan nasib rakyat. Karena di sanalah awal nadi bangsa ini berdenyut. Di tangan mereka Undang-Undang dan Peraturan digodok dan ditetapkan, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Daerah dirumuskan dan disetujui. Dan pada merekalah fungsi pengawasan terhadap jalannya pemerintahan dan belanja negara itu berada.

Dengan tugas dan fungsi legislasi sestrategis itu dapat dibayangkan apa yang akan terjadi apabila para wakil rakyat dalam kiprahnya telah terseret dalam apa yang disebut politik sebagai tangan kotor yang bekerja tanpa etika (The Controversy over Dirty Hands in Politics). (*)