Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Edukasi dan Religi

Surat Terbuka JOPPIE WOREK untuk Para Pendeta GMIM

×

Surat Terbuka JOPPIE WOREK untuk Para Pendeta GMIM

Sebarkan artikel ini

manadomanadoterkini.com, KALAWAT – Tinggal menghitung hari lagi Jemaat GMIM akan melaksanakan Pemilihan Pelayan Khusus (Pelsus) dan Ketua Komisi Kategorial BIPRA. Melihat dinamika yang berkembang akhir-akhir ini, Joppie Worek Anggota Jemaat GMIM Kanaan Asabri, Wilayah Kalawat Dua. Desa Kolongan Tetempangan, Kabupaten Minahasa Utara memberikan surat terbuka untuk Para Pendeta GMIM. Surat terbuka tersebut Ia sampaikan lewat akun Facebook miliknya JOPPIE WOREK pada Senin (9/10/2017).

Berikut isi surat terbuka yang disampaikan JOPPIE WOREK untuk para Pendeta se GMIM:

Kepada Yth :
1.Para Pendeta di Aras BPMS GMIM
2. Para Pendeta di Aras Wilayah GMIM
3.Para Pendeta di Aras Jemaat GMIM

Salam dalam Kasih Tuhan Yesus Kepala Gereja
Sambil mengucap syukur kepada Tuhan Yesus, izinkan saya mengirimkan surat ini secara terbuka, terkait panggilan tugas menghadapi Pemilihan di Aras Kolom, Jemaat, Wilayah, dan Sinode tahun 2017-2018 dan perjalanan GMIM selanjutnya. Surat ini adalah refleksi, korksi, sekaligus harapan kepada semua Pendeta GMIM dimana saja berada. Semoga juga dapat menjadi permenungan semua jemaat GMIM.

Sebelum lebih jauh mohon renungkan ini :

1. Derma jemaat kirim jadi sentralisasi ke BPMS
2. Gereja Jemaat yang bangun.
3. Pastori Konsistori jemaat yang bangun.
4. Kintal gereja/pastori/konsistori jemaat yang kase.
5. Listrik, aer, telp jemaat yang tanggong.
6. Hidop keluarga pendeta jemaat baku tolong.
7. Perpuluhan jemaat kumpul.
8. Acara jemaat, wilayah, sinode jemaat urus.
9. Kartu kawan, sahabat, donatur jemaat kase.
10. Proposal pembangunan jemaat kase bajalang.
11. Pendeta sinode berkunjung jemaat kase ole-ole.
12. Pendeta nae mimbar jemaat kase amplop ucapan terima kasih
13. Ibadah di gereja, BIPRA, kolom, jemaat yang urus.
14. HUT GMIM, wilayah, jemaat urus.
15. Perjamuan, baptisan, hari raya gereja, orang kaweng, sidi baru, katekisasi jemaat urus dan hadir
16. Perlengkapan dan hiasan gereja/pastori/konsistori jemaat sumbang.
17. Orang saki jemaat kumpul diakonia.
18. Orang meninggal jemaat urus.
19. Mimbar, lonceng, stola, togha, alat perjamuan, seragam, jemaat bantu.
20. Konsumsi rapat dan acara acara gereja jemaat bantu.
21. Pendeta mutasi, jemaat antar dan jemput pake acara syukur.
22. Gaji dan honor para pegawai gereja, kostor dari jemaat.
23. Beking skolah, sarana olahraga, kesenian, usaha ekonomi, poliklinik, jemaat yang usahakan.
24. Pengadaan sarana angkutan oto deng motor jemaat yang upayakan.
25. Beking kantin pembangunan jemaat yang kerja mapalus……….dll

Kesaksian, Persekutuan, Pelayanan jemaat beking samua deng sukacita sebagai jawaban panggilan pelayanan. Maaf neh Bapak Ibu Pendeta. Samua itu jemaat kase sebagai wujud kesetiaan GMIM pada Tuhan Yesus Kepala Gereja. Bukang mo babangke, Tuhan marah babangke.

Cuma dang, apa yang jemaat ada beking for gereja Tuhan hargai akang sadiki. Jang kasiang beking saki hati jemaat deng segala macam peraturan, juklak, surat edaran dari BPMS yang menyudutkan, membingungkan, membatasi, memojokan, menyalahkan, mengisolir dengan menuntut jemaat untuk tunduk pada peraturan yang sulit dipenuhi, menuntut jemaat seolah musti seperti “Malaikat”. Jemaat memang banya kekurangan dan dosa, mar jangan kasiang beking lebe kurang hati dan beking saki hati pa jemaat.

Para pendeta saya hormati,
Kita juga mo sampaikan, ada banya jemaat jadi malo berjemaat termasuk anak-anak dari “keluarga cerai hidup” yang sedemikian dipertegas dalam surat edaran susulan yang dibacakan di kolom-kolom dan gereja. Demikian juga ketentuan tentang LGBT dan turunannya yang dipaparkan dalam Juklak dan disampaikan di ibadah kolom dan gereja. Ini benar-benar menjadi pergunjingan liar yang sulit terkontrol dalam jemaat jelang Pemilihan di Aras Kolom dan Jemaat. “So malo tare torang, gereja so beking malo,” ucap seorang anggota jemaat.
kalu mo baku cari “bersih” deng cari “kotor” dalam berjemaat di semua aras melalui peraturan-peraturan dan tafsir-tafsir, terutama menghadapi pemilihan di semua aras. Sekarang ini, sudah ada gab atau kesenjangan psikologis antara jemaat dengan para pendeta terkait peraturan pemilihan. Kesenjangan psikologis seperti ini tidaklah baik untuk pertumbuhan jemaat ke depan. Disharmoni antara pendeta dengan jemaat, antara BPMS dengan jemaat akan sangat mengganggu pertumbuhan jemaat secara menyeluruh. “Iyooo pendeta katu suci samua” komentar seorang jemaat. Situasi ini tentu tidak baik dalam kerja dan “Berjalan Bersama”.

Dalam kaitan itu semua, izinkan saya memohon : “Perhitungkan akang sadiki itu PEMBERIAN DIRI” jemaat yang kita ada gambambarkan di atas. Sekali lagi, bukang mo baku rekeng. Tapi tu PEMEMBERIAN DIRI jemaat for Tuhan Yesus jangan ngoni rendahkan dengan peraturan-peraturan dan Juklak yang ngoni beking dan belum tentu ngoni bisa penuhi.

Bukankah ngoni sering ajarkan bahwa inti dari bergereja adalah PEMBERIAN DIRI ?! Jangan halangi dan batasi pemberian diri jemaat walau jemaat tdk memenuhi kriteria normatif yang ngoni beking.

Bapak Ibu Pendeta yang Saya Hormati,
Mo kase inga, torang jangan melupakan sejarah. Jemaat GMIM sejak berdiri/bersinode 83 tahun silam, hidup dan bertumbuh oleh pemberian diri jemaat yang ketika itu dipimpin oleh Guru Jemaat, manakala GMIM belum memiliki cukup pendeta. Nanti pada era 1980 barulah mulai banyak Pendeta menggantikan peran Guru Jemaat. Kehadiran pendeta di jemaat-jemaat disambut dengan sukacita oleh jemaat dan tua-tua jemaat termasuk Guru Jemaat yang menyerahkan peran Guru Jemaat kepada pendeta.

Sekarang setelah era Guru Jemaat berakhir, mengapa kalian mengecilkan peran para tua-tua jemaat, bahkan kalian membuat sedemikian banyak peraturan, juklak, surat edaran, yang sedemikian ketat kepada untuk tua-tua jemaat. Seakan-akan hanya kalian para pendeta yang lebih pantas memimpin jemaat.

Tidak bisa disangkal, GMIM tumbuh dan berkembang memiliki banyak teolog doctor professor master karena peran para tua-tua jemaat, Guru Jemaat tempo doeloe. Sungguh menyedihkan jika sekarang para pendeta di aras Sinode membuat banyak ketentuan dan peraturan sebagai pagar pemisah, membangun sebuah elitisme hedonis dikalangan pendeta yang semakin memisahkan gembala dan domba, memasang jarak antara pendeta dengan jemaat.

Padahal, GMIM menganut kepemimpinan Presbiter Sinodal yang diamanatkan “Berjalan Bersama”. Mengapa sekarang ada jarak dan perbedaan perlakuan antara pendeta dengan tua-tua jemaat, tidak lagi berjalan bersama. Para pendeta sekarang cendrung berjalan di jalan karier dan profesi, sementara para tua-tua jemaat (presbiter) tetap setia berjalan dari kolom ke kolom. Mengapa sekarang sudah terbangun eksklusifisme hedonis di lingkungan para pendeta, yang membuat jemaat memandang pendeta cendrung sebagai “yang dipertuan” secara structural. Padahal, sekali lagi kita diamanatkan Berjalan Bersama (presbiter sinodal).

Bapak dan Ibu Pendeta yang Baik,
Dari catatan dan refleksi di atas,, izinkan saya sebagai seorang “domba” dalam semangat Berjalan Bersama, menyampaikan beberapa usulan dan saran sebagai berikut :

1. Mohon tidak menjadikan point-point peraturan dan Juklak sebagai “Harga Mati”
2. Mohon segera mengembalikan semangat “Berjalan Bersama” antara pendeta dengan presbiter.
3. Mohon segera pulihkan kepercayaan jemaat pada kepemimpinan BPMS terkait beragam persoalan
4. Mohon pemilihan pelayan di semua aras sebagai momentum membuka pintu “Pemberian Diri” secara terbuka dan inklusif dan tidak terkontaminasi hedonisme atau kemewahan.
5. Mohon “pengampunan” bagi Pelsus terpilih yang tidak sepenuhnya memenuhi criteria Juklak dan Edaran Juklak, dengan pertimbangan, pembinaan dan pembekalan lanjut.
kalu mo baku cari “bersih” deng cari “kotor” dalam berjemaat di semua aras melalui peraturan-peraturan dan tafsir-tafsir, terutama menghadapi pemilihan di semua aras. Sekarang ini, sudah ada gab atau kesenjangan psikologis antara jemaat dengan para pendeta terkait peraturan pemilihan. Kesenjangan psikologis seperti ini tidaklah baik untuk pertumbuhan jemaat ke depan. Disharmoni antara pendeta dengan jemaat, antara BPMS dengan jemaat akan sangat mengganggu pertumbuhan jemaat secara menyeluruh. “Iyooo pendeta katu suci samua” komentar seorang jemaat. Situasi ini tentu tidak baik dalam kerja dan “Berjalan Bersama”.

Dalam kaitan itu semua, izinkan saya memohon : “Perhitungkan akang sadiki itu PEMBERIAN DIRI” jemaat yang kita ada gambambarkan di atas. Sekali lagi, bukang mo baku rekeng. Tapi tu PEMEMBERIAN DIRI jemaat for Tuhan Yesus jangan ngoni rendahkan dengan peraturan-peraturan dan Juklak yang ngoni beking dan belum tentu ngoni bisa penuhi.

Bukankah ngoni sering ajarkan bahwa inti dari bergereja adalah PEMBERIAN DIRI ?! Jangan halangi dan batasi pemberian diri jemaat walau jemaat tdk memenuhi kriteria normatif yang ngoni beking.

Bapak Ibu Pendeta yang Saya Hormati,
Mo kase inga, torang jangan melupakan sejarah. Jemaat GMIM sejak berdiri/bersinode 83 tahun silam, hidup dan bertumbuh oleh pemberian diri jemaat yang ketika itu dipimpin oleh Guru Jemaat, manakala GMIM belum memiliki cukup pendeta. Nanti pada era 1980 barulah mulai banyak Pendeta menggantikan peran Guru Jemaat. Kehadiran pendeta di jemaat-jemaat disambut dengan sukacita oleh jemaat dan tua-tua jemaat termasuk Guru Jemaat yang menyerahkan peran Guru Jemaat kepada pendeta.

Sekarang setelah era Guru Jemaat berakhir, mengapa kalian mengecilkan peran para tua-tua jemaat, bahkan kalian membuat sedemikian banyak peraturan, juklak, surat edaran, yang sedemikian ketat kepada untuk tua-tua jemaat. Seakan-akan hanya kalian para pendeta yang lebih pantas memimpin jemaat.

Tidak bisa disangkal, GMIM tumbuh dan berkembang memiliki banyak teolog doctor professor master karena peran para tua-tua jemaat, Guru Jemaat tempo doeloe. Sungguh menyedihkan jika sekarang para pendeta di aras Sinode membuat banyak ketentuan dan peraturan sebagai pagar pemisah, membangun sebuah elitisme hedonis dikalangan pendeta yang semakin memisahkan gembala dan domba, memasang jarak antara pendeta dengan jemaat.

Padahal, GMIM menganut kepemimpinan Presbiter Sinodal yang diamanatkan “Berjalan Bersama”. Mengapa sekarang ada jarak dan perbedaan perlakuan antara pendeta dengan tua-tua jemaat, tidak lagi berjalan bersama. Para pendeta sekarang cendrung berjalan di jalan karier dan profesi, sementara para tua-tua jemaat (presbiter) tetap setia berjalan dari kolom ke kolom. Mengapa sekarang sudah terbangun eksklusifisme hedonis di lingkungan para pendeta, yang membuat jemaat memandang pendeta cendrung sebagai “yang dipertuan” secara structural. Padahal, sekali lagi kita diamanatkan Berjalan Bersama (presbiter sinodal).

Bapak dan Ibu Pendeta yang Baik,
Dari catatan dan refleksi di atas,, izinkan saya sebagai seorang “domba” dalam semangat Berjalan Bersama, menyampaikan beberapa usulan dan saran sebagai berikut :

1. Mohon tidak menjadikan point-point peraturan dan Juklak sebagai “Harga Mati”
2. Mohon segera mengembalikan semangat “Berjalan Bersama” antara pendeta dengan presbiter.
3. Mohon segera pulihkan kepercayaan jemaat pada kepemimpinan BPMS terkait beragam persoalan
4. Mohon pemilihan pelayan di semua aras sebagai momentum membuka pintu “Pemberian Diri” secara terbuka dan inklusif dan tidak terkontaminasi hedonisme atau kemewahan.
5. Mohon “pengampunan” bagi Pelsus terpilih yang tidak sepenuhnya memenuhi criteria Juklak dan Edaran Juklak, dengan pertimbangan, pembinaan dan pembekalan lanjut.
Demikian surat refleksi, koreksi, dan harapan ini saya sampaikan sebagai salah satu wujud keterpanggilan “seorang domba kecil” dalam tubuh GMIM. Jika ada hal yang berkelebihan atau berkekurangan dalam dalam surat saya ini dan telah mengusik Bapa dan Ibu Pendeta. Saya memohon maaf dan ampun “Saya Sahabatmu dalam Perjalanan Bersama”.
Terima Kasih. Tuhan Yesus Memberikati GMIM

Joppie Worek,
Anggota Jemaat GMIM Kanaan Asabri, Wilayah Kalawat Dua.
Desa Kolongan Tetempangan, Kabupaten Minahasa Utara. 081017
Surat Terbuka untuk Para Pendeta GMIM. (red)